Rabu, 04 Februari 2009

Golput : Fatwa Haram Vs Hak Konstitusional

Jangan sampai nanti ada pernyataan lanjutan bahwa karena golput adalah haram, maka orang yang golput adalah dosa dan karenanya akan masuk Neraka. Ini berbahaya untuk kehidupan demokrasi dan kebangsaan.
Ini akan menjadi catatan buat pemimpin bahwa sampai kapanpun kalau janji-janji serta tokoh yang ditawarkan partai tidak dianggap kredibel oleh masyarakat, maka masyarakat akan menghukum dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan hak politiknya.
PESTA demokrasi yang direncanakan berlangsung pada April 2009, sampai sekarang masih menyisahkan sejumlah problematika dialektika tentang golput. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyerukan kepada pendukungnya untuk memboikot Pemilu 2009, dengan kata lain mengajak golput.
Gerakan ini kemudian direspons oleh Hidayat Nur Wahid yang membuat pernyataan bahwa golput adalah haram. Sikap Hidayat Nur Wahid didukung oleh sejumlah kiai yang mengadakan halaqah atau bahsul masaail di Jawa Timur.
Dalam salah satu fatwanya menyatakan bahwa golput adalah haram. Hal ini didasarkan pada pemilu adalah sarana mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, tanpa pemilu hal tersebut tidak akan terlaksana.
Salah satu syarat pemilu adalah adanya suara rakyat, maka dengan demikian memberikan suara pada pemilu adalah hukumnya wajib dalam kaidah fiqihnya maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu varian penting dalam sistem demokrasi, karena menyangkut legitimasi rakyat sebagai sumber kedaulatan juga representasi.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah Negara meniscayakan adanya partisipasi politik dalam setiap momentum demokrasi. Oleh sebab itu, pada Pemilu 2009 nanti tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan suaranya juga akan berpengaruh positif terhadap kepercayaan publik pada figur-figur pemimpin bangsa.
Tanggung Jawab PilihanNamun demikian, berbicara partisipasi politik terutama dalam momentum pemilihan umum, perlu disadari bahwa masyarakat berhak menentukan pilihan politiknya secara bertanggungjawab artinya kemudian masyarakat pemilih berhak menilai siapa yang akan dipilihnya berdasarkan kriteria-kriteria seperti tawaran program dalam visi dan misi yang di sodorkan oleh para calon.
Pilihan-pilihan politik individu masyarakat tersebut tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun, sebab itu merupakan hak politik (political right) yang di jamin oleh konstitusi termasuk didalamnya adalah pilihan politik untuk tidak memilih alias golput.
Boleh atau tidaknya masyarakat untuk golput, tidak perlu diperdebatkan atau dikhawatirkan merusak kualitas pemilu. Landasan berpikirnya mengenai sikap golput pada pemilu yaitu konstitusi Negara kita yang menjamin hak sipil dan politik semua warga Negara termasuk diberikannya kebebasan untuk memilih dan di pilih dalam pemilihan umum, dalam artian bahwa golput juga merupakan pilihan politik.
Seperti umumnya kita ketahui jika masyarakat dalam menentukan pilihannya termasuk golput bukan tanpa dasar akan tetapi pilihan tersebut merupakan sikap utuh dari individu masyarakat yang memiliki beranggapan bahwa pemerintahan dinilai gagal mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, golput juga bisa dipahami sebagai akumulusi kekecewaan masyarakat yang disebabkan oleh tidak terakomodasinya aspirasi dan kepentingan publik.
Filosof Plato dan Aristoteles sepakat bahwa Negara ada dan terbentuk bukan ditujukan pada untuk Negara itu sendiri. Negara ada untuk manusia yang menjadi warganya. Warga negara dalam konteks ini adalah warga Negara secara keseluruhan tanpa kecuali.
Teori ini akan terlihat kontradiktif jika kita melihat pandangan masyarakat yang memilih untuk golput, di mana kelompok golput menganggap Negara dengan seluruh aparatur kekuasaannya hanya dikendalikan oleh “gerombolan” orang atau kelompok yang tergabung dalam partai politik dengan target-target politik tertentu atau untuk tujuan mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Pada saat yang sama mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Inilah salah satu hal yang mengilhami pandangan masyarakat yang memilih golput sebagai sikap politik. Fenomena golput tidak saja terjadi pada suksesi kepemimpinan nasional, juga pada suksesi kepemimpinan di daerah seperti yang kerap terjadi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur, bupati dan wali kota termasuk Pilgub Jatim putaran I dan II.
Penyebabnya adalah sama yaitu ketidakpuasan publik terhadap peranan para pemimpin itu dalam menyelesaikan agenda kerakyatan. Selain itu, tidak adanya figur alternatif yang dinggap mampu mengemban amanat dan aspirasi rakyat. Sebagian masyarakat kita jenuh dengan fenomena kepemimpinan yang sering disebut L4 (lo lagi, lo lagi).
Janji-janjiYang perlu menjadi catatan adalah bahwa, fatwa haram untuk golput adalah tidak selayaknya dan seharusnya dikeluarkan, hal ini mendasarkan bahwasannya fatwa adalah suatu “keputusan” hukum yang didasarkan pada aspek fikih yang menyangkut keagamaan.
Jangan sampai nanti ada pernyataan lanjutan bahwa karena golput adalah haram, maka orang yang golput adalah dosa dan karenanya akan masuk Neraka. Ini berbahaya untuk kehidupan demokrasi dan kebangsaan.
Ini akan menjadi catatan buat pemimpin bahwa sampai kapanpun kalau janji-janji serta tokoh yang ditawarkan partai tidak dianggap kredibel oleh masyarakat, maka masyarakat akan menghukum dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan hak politiknya.
Adalah tugas berat semua elemen bangsa kedepan terutama para penyelenggara pemilu terutama KPU, adalah bagaimana memberikan keyakinan dan kesadaran pada masyarakat bahwa membangun bangsa Indonesia adalah tugas bersama termasuk tanggunggjawab mereka yang memilih untuk golput.

Tidak ada komentar: